BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pancasila merupakan dasar negara, dan pemersatu bangsa
Indonesia yang majemuk. Pancasila juga merupakan jati diri
bangsa Indonesia, sebagai
falsafah, ideologi, dan alat
pemersatu bangsa Indonesia
Mengapa begitu besar
pengaruh Pancasila terhadap
bangsa dan negara Indonesia? Hal ini
dikarenakan bangsa Indonesia memilki
keragaman suku, agama,
bahasa daerah, pulau,
adat istiadat, kebiasaan
budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi hal -hal atau
perbedaan di atas harus dipersatukan.
Sejarah
Pancasila adalah bagian
dari sejarah inti
negara Indonesia. Sehingga tidak
heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang
sakral yang harus
kita hafalkan dan
mematuhi apa yang
diatur di dalamnya. Ada
pula sebagian pihak
yang sudah hampir
tidak mempedulikan lagi semua
aturan-aturan yang dimiliki
oleh Pancasila. Namun,
di lain pihak
muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia. Mungkin
kita masih ingat
dengan kasus kudeta
Partai Komunis Indonesia yang menginginkan
mengganti ideologi Pancasila
dengan ideologi Komunis.
Juga kasus kudeta DI/TII
yang ingin memisahkan
diri dari Indonesia
dan mendirikan sebuah negara
Islam. Atau kasus
yang masih hangat
di telinga kita
masalah pemberontakan tentara GAM.
Mengapa banyak orang yang menetang pancasila dengan alasan
agama. Masalah pokoknya adalah kurangnya pemahaman mereka tentang ideologi
pancasila dan juga kesalahan
merekadalam menafsirkan pelajaran pelajaran atau ilmu agama yang
mereka dapatkan. atau mungkin juga mereka mudah di pengaruhi
dan di hasut dengan alasan agama atau kebebasan. Dengan demikian kami akan akan
menjelaskan bagaimana hubungan Pancasila dengan agama dalam negara kesatuan Republik
Indonesia.
1.2
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk memenuhi tugas kelompok
Pendidikan Kewarganegaraan.
2.
Untuk dijadikan bahan dalam
kegiatan diskusi.
3.
Untuk menambah
pengetahuan baru, mengenai geopolitik indonesia.
4.
Untuk mengetahui bagaimana
peranan Wawasan Nusantara di Indonesia.
5.
Dapat menyuarakan mengenai
pendapat dan pemikiran.
6.
Untuk mengetahui hubungan wawasan
nusantara dengan ketahanan nasional.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis, sebagai sarana
menambah pengetahuan mengenai dunia politik khususnya tentang geopolitik Indonesia.
2. Bagi pembaca, sebagai sumber
pengetahuan mengenai dunia politik selain buku-buku pelajaran lainnya.
3.
Sebagai gambaran dan acuan agar
dapat lebih baik lagi dalam menyelesaikan makalah pada waktu yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
Pancasila
adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata
dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau
asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara
bagi seluruh rakyat Indonesia.Pancasila adalah pedoman luhur yang wajib di taati dan dijalankan oleh setiap warga
negara Indonesia untuk menuju kehidupan yang sejahtera
tentram,adil,aman,sentosa.
2.2 PengertianAgama
Agama adalah ajaran sistem yang
mengatur tata keimanan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia an manusia serta lingkungan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Pancasila yang
di dalamnya terkandung
dasar filsafat hubungan negara
dan agama merupakan
karya besar bangsa Indonesia melalui The
Founding Fathers Negara Republik
Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara
yang tertuang dalam
Pancasila merupakan karya khas yang secara antropologis
merupakan local geniusbangsa Indonesia
(Ayathrohaedi dalam Kaelan,
2012). Begitu pentingnya memantapkan
kedudukan Pancasila, maka Pancasila pun
mengisyaratkan bahwa kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang
dan berbagai agama. Tuhan menurut terminologi
Pancasila adalah Tuhan
Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama Islam,
Kristen, Budha, Hindu
dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Menurut Notonegoro (dalam Kaelan, 2012:
47), asal mula Pancasila
secara langsung salah
satunya asal mula bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan
bahwa “bangsa Indonesia adalah sebagai
asal dari nilai-nilai
Pacasila, yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai
adat-istiadat kebudayaan serta
nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari
bangsa Indonesia”.Sejak zaman purbakala
hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara
Indonesia, masyarakat Nusantara
telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14
abad pengaruh Hinduisme
dan Budhisme, (sekitar)
7 abad pengaruh
Islam, dan (sekitar)
4 abad pengaruh Kristen
(Latif, 2011: 57). Dalam
buku Sutasoma karangan Empu
Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal Bhinneka Tunggal Ika.
Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap
berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan
Hanna Dharma Mangrua, artinya
walaupun berbeda, satu
jua adanya, sebab tidak
ada agama yang
mempunyai tujuan yang berbeda
(Hartono, 1992: 5).
Kuatnya faham keagamaan dalam
formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak dapat
membayangkan ruang publik
hampa Tuhan. Sejak
dekade 1920-an, ketika Indonesia
mulai dibayangkan sebagai komunitas politik
bersama, mengatasi komunitas
kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas
dari Ketuhanan (Latif,
2011: 67). Secara
lengkap pentingnya dasar Ketuhanan
ketika dirumuskan oleh founding
fathers negara kita dapat
dibaca pada pidato
Ir. Soekarno pada 1
Juni 1945, ketika
berbicara mengenai dasar negara
(philosophische grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja
bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.
Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk
Isa Al Masih,
yang Islam menurut petunjuk
Nabi Muhammad s.a.w,
orang Budha menjalankan ibadatnya
menurut kitabkitab yang
ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Hendaknya negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan.
Secara kebudayaan yakni dengan tiada
“egoisme agama”. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu negara yang ber-Tuhan” (Zoelva,
2012).Pernyataan ini mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan akan
eksistensi agama-agama di
Indonesia yang, menurut Ir.
Soekarno, “mendapat tempat
yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi
negara terhadap agama,
Ir. Soekarno menegaskan bahwa
“negara kita akan
berTuhan”. Bahkan dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan, “Hatiku
akan berpesta raya,
jikalau saudarasaudara menyetujui
bahwa Indonesia berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal
29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118).Jelaslah
bahwa ada hubungan
antara sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam Pancasila
dengan ajaran tauhid dalam
teologi Islam. Jelaslah
pula bahwa sila
pertama Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu
(meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan terus-menerus
mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam,
dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam
pengertian bahwa Tuhan itu
Esa dalam sifat-Nya
dan perbuatan-Nya. Ajaran ini
juga diterima oleh
agama-agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip ke-Tuhanan Ir.
Soekarno itu didapat
dari -atau sekurang-kurangnya diilhami
oleh uraian-uraian dari para
pemimpin Islam yang
berbicara mendahului Ir. Soekarno
dalam Badan Penyelidik
itu, dikuatkan dengan keterangan Mohamad
Roem. Pemimpin Masyumi
yang terkenal ini menerangkan
bahwa dalam Badan
Penyelidik itu Ir. Soekarno
merupakan pembicara terakhir;
dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran para
anggota yang berbicara
sebelumnya telah tercakup di
dalam pidatonya itu,
dan dengan sendirinya perhatian tertuju
kepada (pidato) yang
terpenting. Komentar Roem, “Pidato
penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato
yang telah diucapkansebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999:
63). Prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa mengandung makna bahwa
manusia Indonesia harus
mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau
Tuhan-Tuhan lain yang
bisa mempersekutukannya.
Dalam bahasa formal
yang telah disepakati bersama
sebagai perjanjian bangsa
sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”.
Di mana pengertian
arti kata Tuhan
adalah sesuatu yang kita
taati perintahnya dan
kehendaknya.Prinsip dasar pengabdian
adalah tidak boleh
punya dua tuan, hanya satu tuannya,
yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah
yang menjadi misi
utama tugas para
pengemban risalah untuk mengajak
manusia mengabdi kepada
satu Tuan, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa .
Pada
saat kemerdekaan, sekularisme
dan pemisahan agama dari
negara didefinisikan melalui
Pancasila. Ini penting untuk
dicatat karena Pancasila tidak memasukkan kata sekularisme
yang secara jelas
menyerukan untuk memisahkan agama
dan politik atau
menegaskan bahwa negara harus
tidak memiliki agama.
Akan tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa
Pancasila tidak mengakui satu agama pun
sebagai agama yang
diistimewakan kedudukannya
oleh negara dan
dari komitmennya terhadap masyarakat
yang plural dan
egaliter. Namun, dengan hanya
mengakui lima agama
(sekarang menjadi 6 agama:
Islam, Kristen Katolik,
Kristen Protestan, Hindu, Budha
dan Konghucu) secara
resmi, negara Indonesia membatasi pilihan
identitas keagamaan yang
bisa dimiliki oleh warga
negara. Pandangan yang
dominan terhadap Pancasila
sebagai dasar negara
Indonesia secara jelas menyebutkan tempat
bagi orang yang
menganut agama tersebut, tetapi
tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman ini
juga memasukkan kalangan
sekuler yang menganut agama
tersebut, tapi tidak
memasukkan kalangan sekuler yang
tidak menganutnya. Seperti
yang telah ditelaah Madjid,
meskipun Pancasila berfungsi sebagai kerangka
yang mengatur masyarakat
di tingkat nasional maupun
lokal, sebagai individu
orang Indonesia bisa dan bahkan
didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama
(An-Na’im, 2007: 439).
Dalam hubungan
antara agama Islam
dan Pancasila, keduanya dapat
berjalan saling menunjang
dan saling mengokohkan. Keduanya
tidak bertentangan dan
tidak boleh dipertentangkan. Juga
tidak harus dipilih
salah satu dengan sekaligus
membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiai
Achamd Siddiq menyatakan bahwa salah satu
hambatan utama bagi
proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis,
yaitu kecurigaan dan
kekhawatiran yang datang dari
dua arah (Zada
dan Sjadzili (ed),
2010: 79). hubungan negara dengan agama
menurut NKRI yang
berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012:
215-216):
a. Negara adalah berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa
Indonesia adalah sebagai
bangsa yang berKetuhanan yang
Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga
memiliki hak asasi untuk memeluk
dan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama masing-masing.
c. Tidak ada tempat bagi atheisme dan
sekularisme karena hakikatnya
manusia berkedudukan kodrat
sebagai makhluk Tuhan.
d. Tidak ada
tempat bagi pertentangan
agama, golongan agama, antar
dan inter pemeluk
agama serta antar pemeluk agama.
e. Tidak ada
tempat bagi pemaksaan
agama karena ketakwaan itu bukan
hasil peksaan bagi siapapun juga.
f. Memberikan toleransi
terhadap orang lain
dalam menjalankan agama dalam negara.
g. Segala aspek
dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara
harus sesuai dengan
nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif
maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.
h. Negara pda
hakikatnya adalah merupakan
“…berkat rahmat Allah yang Maha Esa”.
Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.),
2009: 58), dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius. Religiusitas bangsa
Indonesia ini, secara filosofis
merupakan nilai fundamental
yang meneguhkan eksistensi negara
Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar
kerohanian bangsa dan
menjadi penopang utama bagi
persatuan dan kesatuan
bangsa dalam rangka menjamin
keutuhan NKRI. Karena
itu, agar terjalin hubungan
selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar
Negara Pancasila wajib memberikan perlindungan
kepada agama-agama di Indonesia.
“Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta
penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila
mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama,
Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan
imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen
bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor
penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa
Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
Kerelaan
tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat
pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila
harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua
komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding
fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di
antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas
kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar
Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila
”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat,
dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa”
harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat,
negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar
Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila
”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila
lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8
dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia
(berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan
Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan
sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan
berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia
(berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam
Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya
Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan
(persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat,
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa negara
melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang
Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV
Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan
dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa
negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak
menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini
sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika
atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan
kepada orang lain
Sebagai sebuah negara yang mayoritas
penduduknya memeluk agama islam, maka
Pancasila sendiri sebagai
dasar negara Indonesia
tidak bisa lepas
dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila
“Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “… dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal sebagai
Piagam Jakarta. Namun ada dua
ormas Islam terbesar
saat itu yang
menentang bunyi sila pertama
tersebut, karena dua
ormas Islam tersebut
menyadari bahwa jika
syariat Islam diterapkan maka
secara tidak langsung
akan menjadikan.
Indonesia sebagai negara Islam
yang utuh maka hal
tersebut dapat memojokkan
umat beragama lainnya. Yang lebih
buruk lagi adalah akan memecah
belah bangsa ini khususnya bagi provingsi-provingsi yang sebagian
besar penduduknya nonmuslim.
Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang
maha esa” yang berarti bahwa Pancasila
mengakui dan menyakralkan
keberadaan Agama, tidak hanya
Islam namun termasuk
juga Kristen, Katolik,
Budha, khonhucu dan Hindu sebagai agama resmi negara pada saat
itu.
keterkaitan hubungan antara rukun
Islam sebagai landasan agama Isalam dan Pancasila sebagai landasan negara
Indonesia. Adapun hubungan itu yaitu pertama dari segi jumlah, rukun Islam
berjumlah lima begitupun pancasila. Kedua, dari segi makna yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini kerat aitannya denagn
rukun Islam yang pertama yaitu syahadat. Secara umum, sila ini menerangkan
tentang ketuhanan begitu pun syahadat yang mempunyai makna pengakuan terhadap
tuhan yaitu Allah SWT. Selain itu, kata Esa sendiri berarti tunggal, yang
sebagaimana yang kita ketahui bahwa Isalm sebagai agama mayoritas penduduk
negeri ini mempunyai tuhan tunggal Allah SWT.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab sila kedua pancasila,
berkaitan dengan rukun Islam kedua yaitu
Shalat. Shalat dalam Islam selain sebagai ibadah wajib juga dilakukan untuk
mendidik manusia menjadi manusia yang beradab. Sholat adalah sebuah media untuk
mencegah perbuatan yang tidak terpuji, sebagai mana yang di firmankan oleh
Allah bahwa Shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
3. Persatuan Indonesia yang artinya seluruh elemen rakyat yang
ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan adat bersatu dan
membentuk kesatuan dalam wadah bangsa Indonesia. Kaitannya dengan itu, persatuan
terbentuk ketika jurang pemisah sudah tidak ada lagi di masyarakat. salah satu
jurang pemisah yang paling nyata yaitu jurang antara yang miskin dan yang kaya.
Untuk menyatukan jurang pemisah tersebut maka di agama Islam diwajibkan
membayar zakat bagi orang-orang kaya yang akan disalurkan untuk kepentingan
kaum miskin dan duafa. Zakat yang notabennya adalah rukun Islam ketiga sangat
erat kaitannya dengan poin pancasila ketiga tersebut. Dengan zakat akan
terbentuk rasa kasih sayang pada umat yang akan menghasilkan persatuan yang di
cita-citakan.
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan sangat erat kaitannya dengan rukun islam keempat
yaitu puasa. Dengan pusas akan terbentuk sifat bijaksana dan kepemimpinan. Ciri
orang bijaksana, yaitu ia mampu merasakan dan mempumnyuai rasa kasih sayang
sesame, semua itu adalah hikmah dari puasa. Selain itu, dalam menentukan waktu
puasa, perlu dilakukan suatu musyawarah yang dikenal dengan siding istbat.
5. Keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indionesia. Pada rukun
Islam, terdapat yang namanya haji. Haji adalah proses sosial yang terbesar di
dunia ini, dimana setiap orang datang dari berbagai negara dengan berbagai
bahasa dan kebiasaan bergabung menjadi satu dalam satu tempat dan waktu dalam
kedudukan yang sama. Di dalalam haji, tidak memandang itu siapa dan siapa,
semuanya sama, pakaiannya sama dan peraturan dan hukumnya sama. Semua itu
adalah cerminan dari keadilan tuhan.
Pancasila dan
agama dapat diaplikasikan
seiring sejalan dan saling
mendukung. Agama dapat
mendorong aplikasi
nilai-nilai Pancasila, begitu
pula Pancasila memberikan ruang
gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan
pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama
(Eksan, 2000). Abdurrahman
Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi untuk melihat
apakah nilai-nilai dasar
itu ditarik oleh Pancasila dari
agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
karena ajaran agama-agama
juga tetap menjadi referensi
umum bagi Pancasila,
dan agamaagama harus
memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi
lalu lintas” yang
akan menjamin semua pihak
dapat menggunakan jalan
raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan Alfian,
1990: 167-168).
Moral Pancasila
bersifat rasional, objektif
dan universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.
Moral Pancasila juga
dapat disebut otonom
karena nilainilainya tidak
mendapat pengaruh dari
luar hakikat manusia Indonesia,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis.
Tidak dapat pula
diletakkan adanya bantuan dari
nilai-nilai agama, adat,
dan budaya, karena secara de facto
nilai-nilai Pancasila berasal
dari agama agama serta budaya
manusia Indonesia. Hanya saja
nilainilai yang hidup
tersebut tidak menentukan
dasar-dasar Pancasila,
tetapi memberikan bantuan
dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177).Sejalan dengan
pendapat tersebut, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menyatakan dalam Sambutan pada
Peringatan Hari Kesaktian
Pancasila pada 1
Oktober 2005.
“Bangsa kita
adalah bangsa yang
relijius; juga, bangsa yang
menjunjung tinggi, menghormati dan mengamalkan
ajaran agama masing-masing. Karena itu,
setiap umat beragama
hendaknya memahami falsafah Pancasila
itu sejalan dengan nilai-nilai ajaran
agamanya masing-masing.
Dengan demikian, kita
akan menempatkan falsafah negara
di posisinya yang
wajar. Saya berkeyakinan dengan
sedalam-dalamnya bahwa lima sila
di dalam Pancasila
itu selaras dengan ajaran agama-agama yang hidup dan
berkembang di tanah air.
Dengan demikian, kita
dapat menghindari adanya perasaan
kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta
untuk menerima Pancasila
sebagai falsafah negara (Yudhoyono
dalam Wildan (ed.), 2010: 172).
Dengan penerimaan
Pancasila oleh hampir
seluruh kekuatan bangsa, sebenarnya
tidak ada alasan
lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai
Pancasila dengan agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar
ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan
Maarif, sebuah pergulatan
sengit yang telah
menguras energi kita sebagai
bangsa. Sebagai buah
dari pergumulan panjang itu,
sekarang secara teoretik
dari kelima nilai Pancasila tidak
satu pun lagi
yang dianggap berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci
oleh sila kelima.
Diharapkan sebagai
bangsa indonesia yang
rakyatnya memiliki berbagai macam suku ,budaya dan
agama, harus saling
menghormati, manghargai dan menyayangi antara satu suku dan suku
lainnya dan antara satu agama dan agama lainnya. Agar timbul kedamaian dan
kerukunan di negara ini. Jangan
Hanya karena merasa
berasal dari agama
mayoritas, kita merendahkan umat
yang berbeda agama
ataupun membuat aturan
yang secara langsung dan tidak
langsung memaksakan aturan agama yang
dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih
moralitas. Hendaknya kita tidak
menggunakan standar sebuah
agama tertentu untuk dijadikan tolak
ukur nilai moralitas
bangsa Indonesia
Untuk semakin memperkuat rasa bangga terhadap Pancasila dan
memahami tentang kerukunan beragama
maka perlu adanya
peningkatan pengamalan butir butir Pancasila khususnya sila ke-1.
Untuk menjadi sebuah
negara Pancasila yang
nyaman bagi rakyatnya, diperlukan adanya
jaminan keamanan dan
kesejahteraan setiap masyarakat
yang ada di dalamnya.
Khususnya jaminan keamanan
dalam melaksanakan kegiatan beribadah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai negara yang
terdiri dari berbagai
macam agama, suku,
ras dan bahasa Pancasila
adalah ideologi yang
sangat baik untuk
diterapkan di negara Indonesia. Sehingga
jika ideologi Pancasila
diganti oleh ideologi
yang berlatar belakang agama, akan
terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang
dijadikan ideologi negara tersebut. Dengan
tetap menjunjung tinggi
ideologi Pancasila sebagai
dasar negara, maka perwujudan
untuk menuju negara
yang aman dan
sejahtera pasti akan tercapai.
3.2 Saran
Untuk mengembangkan
nilai-nilai Pancasila dan
memadukannya dengan agama, harus
memiliki rasa nasionalisme
yang tinggi. Selain
itu, kita juga
harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia
yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya,
serta selalu rukun antar umat beragam dengan cara saling menghormati dan
menghargai.
DAFTAR PUSTAKA
Nopirin. 1980. Beberapa
Hal Mengenai Falsafah
Pancasila, Cet. 9.
Jakarta: Pancoran Tujuh
Notonagoro. 1980. Beberapa
Hal Mengenai Falsafah
Pancasila dengan Kelangsungan Agama, Cet. 8. Jakarta:
Pantjoran Tujuh
Salam,
H. Burhanuddin, 1998. Filsafat
Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Agama. Jakarta: PT. Gramedia