Translate

Senin, 13 November 2017

Hubungan Pancasila dan Agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pancasila merupakan dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Pancasila  juga merupakan jati  diri  bangsa  Indonesia,  sebagai  falsafah,  ideologi,  dan alat  pemersatu  bangsa  Indonesia  Mengapa  begitu  besar  pengaruh  Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia?  Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia memilki keragaman  suku,  agama,  bahasa  daerah,  pulau,  adat  istiadat,  kebiasaan  budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi hal -hal atau perbedaan di atas harus dipersatukan.
Sejarah  Pancasila  adalah  bagian  dari  sejarah  inti  negara  Indonesia. Sehingga tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu  yang  sakral  yang  harus  kita  hafalkan  dan  mematuhi  apa  yang  diatur  di dalamnya.  Ada  pula  sebagian  pihak  yang  sudah  hampir  tidak  mempedulikan  lagi semua  aturan-aturan  yang  dimiliki  oleh  Pancasila.  Namun,  di  lain  pihak  muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Mungkin  kita  masih  ingat  dengan  kasus  kudeta  Partai  Komunis  Indonesia yang  menginginkan  mengganti  ideologi  Pancasila  dengan  ideologi  Komunis.  Juga kasus  kudeta  DI/TII  yang  ingin  memisahkan  diri  dari  Indonesia  dan  mendirikan sebuah  negara  Islam.  Atau  kasus  yang  masih  hangat  di  telinga  kita  masalah pemberontakan  tentara  GAM. 
Mengapa banyak orang yang menetang pancasila dengan alasan agama. Masalah pokoknya adalah kurangnya pemahaman mereka tentang ideologi pancasila dan juga  kesalahan merekadalam  menafsirkan    pelajaran pelajaran atau ilmu agama yang mereka   dapatkan.  atau mungkin juga mereka mudah di pengaruhi dan di hasut dengan alasan agama atau kebebasan. Dengan demikian kami akan akan menjelaskan bagaimana hubungan Pancasila dengan agama dalam negara kesatuan Republik Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:



1.3 Tujuan Penulisan
        Adapun Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk memenuhi tugas kelompok Pendidikan Kewarganegaraan.
2.      Untuk dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi.
3.      Untuk menambah pengetahuan baru, mengenai geopolitik indonesia.
4.      Untuk mengetahui bagaimana peranan Wawasan Nusantara di Indonesia.
5.      Dapat menyuarakan mengenai pendapat dan pemikiran.
6.      Untuk mengetahui hubungan wawasan nusantara dengan ketahanan nasional.


1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis, sebagai sarana menambah pengetahuan mengenai dunia politik khususnya tentang geopolitik Indonesia.
2. Bagi pembaca, sebagai sumber pengetahuan mengenai dunia politik selain buku-buku pelajaran lainnya.
3.    Sebagai gambaran dan acuan agar dapat lebih baik lagi dalam menyelesaikan makalah pada waktu yang akan datang.






BAB II
PEMBAHASAN


Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.Pancasila adalah pedoman luhur yang wajib di taati dan dijalankan oleh setiap warga negara Indonesia untuk menuju kehidupan yang sejahtera tentram,adil,aman,sentosa.


Agama adalah ajaran sistem yang mengatur tata keimanan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia an manusia serta  lingkungan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)


Pancasila  yang  di  dalamnya  terkandung  dasar filsafat  hubungan  negara  dan  agama  merupakan  karya besar bangsa  Indonesia  melalui The  Founding  Fathers Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara  yang  tertuang  dalam  Pancasila  merupakan  karya khas yang secara  antropologis  merupakan local  geniusbangsa  Indonesia  (Ayathrohaedi  dalam  Kaelan,  2012). Begitu  pentingnya  memantapkan  kedudukan  Pancasila, maka  Pancasila  pun  mengisyaratkan  bahwa  kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan  menurut  terminologi  Pancasila  adalah  Tuhan  Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama  Islam,  Kristen,  Budha,  Hindu  dan  bahkan  juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Menurut  Notonegoro (dalam  Kaelan, 2012:  47),  asal mula  Pancasila  secara  langsung  salah  satunya  asal  mula bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan bahwa “bangsa Indonesia  adalah  sebagai  asal  dari  nilai-nilai  Pacasila, yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai adat-istiadat  kebudayaan  serta  nilai-nilai  religius  yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia”.Sejak  zaman  purbakala  hingga  pintu  gerbang (kemerdekaan)  negara  Indonesia,  masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar)  14  abad  pengaruh  Hinduisme  dan  Budhisme,  (sekitar)  7  abad  pengaruh  Islam,  dan  (sekitar)  4  abad pengaruh  Kristen  (Latif, 2011:  57).  Dalam  buku  Sutasoma karangan Empu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap  berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma  Mangrua,  artinya  walaupun  berbeda,  satu  jua adanya,  sebab  tidak  ada  agama  yang  mempunyai  tujuan yang berbeda (Hartono, 1992: 5).
Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak dapat membayangkan  ruang  publik  hampa  Tuhan.  Sejak  dekade 1920-an,  ketika  Indonesia  mulai  dibayangkan  sebagai komunitas  politik  bersama,  mengatasi  komunitas  kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari  Ketuhanan  (Latif,  2011:  67).  Secara  lengkap pentingnya  dasar  Ketuhanan  ketika  dirumuskan  oleh founding  fathers negara  kita  dapat  dibaca  pada  pidato  Ir. Soekarno  pada  1  Juni  1945,  ketika  berbicara  mengenai dasar negara (philosophische grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan,  tetapi  masing-masing  orang Indonesia  hendaknya  ber-Tuhan.  Tuhannya sendiri.  Yang  Kristen  menyembah  Tuhan menurut  petunjuk  Isa  Al  Masih,  yang  Islam menurut  petunjuk  Nabi  Muhammad  s.a.w,  orang Budha  menjalankan  ibadatnya  menurut  kitabkitab  yang  ada  padanya.  Tetapi  marilah  kita semuanya  ber-Tuhan.  Hendaknya  negara Indonesia  ialah  negara  yang  tiap-tiap  orangnya dapat  menyembah  Tuhannya  dengan  leluasa. Segenap  rakyat  hendaknya  ber-Tuhan. 

Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan  hendaknya  Negara  Indonesia  satu  negara yang ber-Tuhan” (Zoelva, 2012).Pernyataan ini mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan  akan  eksistensi  agama-agama  di  Indonesia yang,  menurut  Ir.  Soekarno,  “mendapat  tempat  yang sebaik-baiknya”.  Kedua,  posisi  negara  terhadap  agama,  Ir. Soekarno  menegaskan  bahwa  “negara  kita  akan  berTuhan”. Bahkan dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan,  “Hatiku  akan  berpesta  raya,  jikalau  saudarasaudara  menyetujui  bahwa  Indonesia  berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

 Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118).Jelaslah  bahwa  ada  hubungan  antara  sila  Ketuhanan Yang  Maha  Esa  dalam  Pancasila  dengan  ajaran  tauhid dalam  teologi  Islam.  Jelaslah  pula  bahwa  sila  pertama Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan  terus-menerus  mengurus  makhluknya),  sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa  Tuhan  itu  Esa  dalam  sifat-Nya  dan  perbuatan-Nya. Ajaran  ini  juga  diterima  oleh  agama-agama  lain  di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63). Prinsip  ke-Tuhanan  Ir.  Soekarno  itu  didapat  dari -atau  sekurang-kurangnya  diilhami  oleh  uraian-uraian  dari para  pemimpin  Islam  yang  berbicara  mendahului  Ir. Soekarno  dalam  Badan  Penyelidik  itu,  dikuatkan  dengan keterangan  Mohamad  Roem.  Pemimpin  Masyumi  yang terkenal  ini  menerangkan  bahwa  dalam  Badan  Penyelidik itu  Ir.  Soekarno  merupakan  pembicara  terakhir;  dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran  para  anggota  yang  berbicara  sebelumnya  telah tercakup  di  dalam  pidatonya  itu,  dan  dengan  sendirinya perhatian  tertuju  kepada  (pidato)  yang  terpenting. Komentar  Roem,  “Pidato  penutup  yang  bersifat menghimpun  pidato-pidato  yang  telah  diucapkansebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999: 63). Prinsip  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  mengandung makna  bahwa  manusia  Indonesia  harus  mengabdi  kepada satu  Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan  mengalahkan ilah-ilah  atau  Tuhan-Tuhan  lain  yang  bisa mempersekutukannya.  Dalam  bahasa  formal  yang  telah disepakati  bersama  sebagai  perjanjian  bangsa  sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha  Esa”.  Di  mana  pengertian  arti  kata  Tuhan  adalah sesuatu  yang  kita  taati  perintahnya  dan  kehendaknya.Prinsip  dasar  pengabdian  adalah  tidak  boleh  punya  dua tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah  yang  menjadi  misi  utama  tugas  para  pengemban risalah  untuk  mengajak  manusia  mengabdi  kepada  satu Tuan,  yaitu  Tuhan  Yang  Maha  Esa  .

Pada  saat  kemerdekaan,  sekularisme  dan  pemisahan agama  dari  negara  didefinisikan  melalui  Pancasila.  Ini penting untuk dicatat karena  Pancasila tidak  memasukkan kata  sekularisme  yang  secara  jelas  menyerukan  untuk memisahkan  agama  dan  politik  atau  menegaskan  bahwa negara  harus  tidak  memiliki  agama.  Akan  tetapi,  hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu  agama  pun  sebagai  agama  yang  diistimewakan kedudukannya  oleh  negara  dan  dari  komitmennya terhadap  masyarakat  yang  plural  dan  egaliter.  Namun, dengan  hanya  mengakui  lima  agama  (sekarang  menjadi  6 agama:  Islam,  Kristen  Katolik,  Kristen  Protestan,  Hindu, Budha  dan  Konghucu)  secara  resmi,  negara  Indonesia membatasi  pilihan  identitas  keagamaan  yang  bisa  dimiliki oleh  warga  negara.  Pandangan  yang  dominan  terhadap  Pancasila  sebagai  dasar  negara  Indonesia  secara  jelas menyebutkan  tempat  bagi  orang  yang  menganut  agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman  ini  juga  memasukkan  kalangan  sekuler  yang menganut  agama  tersebut,  tapi  tidak  memasukkan kalangan  sekuler  yang  tidak  menganutnya.  Seperti  yang telah  ditelaah  Madjid,  meskipun  Pancasila  berfungsi sebagai  kerangka  yang  mengatur  masyarakat  di  tingkat nasional  maupun  lokal,  sebagai  individu  orang  Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).

Dalam  hubungan  antara  agama  Islam  dan  Pancasila, keduanya  dapat  berjalan  saling  menunjang  dan  saling mengokohkan.  Keduanya  tidak  bertentangan  dan  tidak boleh  dipertentangkan.  Juga  tidak  harus  dipilih  salah  satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya  Kiai  Achamd Siddiq  menyatakan  bahwa  salah satu  hambatan  utama  bagi  proporsionalisasi  ini  berwujud hambatan  psikologis,  yaitu  kecurigaan  dan  kekhawatiran yang  datang  dari  dua  arah  (Zada  dan  Sjadzili  (ed),  2010: 79). hubungan  negara  dengan agama  menurut  NKRI  yang  berdasarkan  Pancasila  adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):
a.    Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa  Indonesia  adalah  sebagai  bangsa  yang berKetuhanan  yang  Maha  Esa.  Konsekuensinya  setiap warga  memiliki  hak  asasi  untuk  memeluk  dan menjalankan  ibadah  sesuai  dengan  agama  masing-masing.
c.   Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya  manusia  berkedudukan  kodrat  sebagai makhluk Tuhan.
d.   Tidak  ada  tempat  bagi  pertentangan  agama,  golongan agama,  antar  dan  inter  pemeluk  agama  serta  antar pemeluk agama.
e.    Tidak  ada  tempat  bagi  pemaksaan  agama  karena ketakwaan itu bukan hasil peksaan bagi siapapun juga.
f.     Memberikan  toleransi  terhadap  orang  lain  dalam menjalankan agama dalam negara.
g.    Segala  aspek  dalam  melaksanakan  dan menyelenggatakan  negara  harus  sesuai  dengan  nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.
h.    Negara  pda  hakikatnya  adalah  merupakan  “…berkat rahmat Allah yang Maha Esa”.

Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58), dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa  yang  religius.  Religiusitas  bangsa  Indonesia  ini, secara  filosofis  merupakan  nilai  fundamental  yang meneguhkan  eksistensi  negara  Indonesia  sebagai  negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa  merupakan  dasar  kerohanian  bangsa  dan  menjadi penopang  utama  bagi  persatuan  dan  kesatuan  bangsa dalam  rangka  menjamin  keutuhan  NKRI.  Karena  itu,  agar terjalin hubungan selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila wajib  memberikan  perlindungan  kepada agama-agama  di Indonesia.


“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti,  tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan  Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa  “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain


Sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam, maka  Pancasila  sendiri  sebagai  dasar  negara  Indonesia  tidak  bisa  lepas  dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun  ada  dua  ormas  Islam  terbesar  saat  itu  yang  menentang  bunyi  sila pertama  tersebut,  karena  dua  ormas  Islam  tersebut  menyadari  bahwa  jika  syariat Islam  diterapkan  maka  secara  tidak  langsung  akan  menjadikan.

Indonesia  sebagai negara  Islam  yang  utuh maka  hal  tersebut  dapat  memojokkan  umat  beragama lainnya.  Yang lebih  buruk lagi  adalah  akan memecah  belah  bangsa ini  khususnya bagi  provingsi-provingsi  yang sebagian  besar  penduduknya  nonmuslim.  Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti  bahwa  Pancasila  mengakui  dan  menyakralkan  keberadaan  Agama,  tidak hanya  Islam  namun  termasuk  juga  Kristen,  Katolik,  Budha, khonhucu  dan  Hindu sebagai agama resmi negara pada saat itu.

2.6              Makna Sila Pancasila dalam Agama

keterkaitan hubungan antara rukun Islam sebagai landasan agama Isalam dan Pancasila sebagai landasan negara Indonesia. Adapun hubungan itu yaitu pertama dari segi jumlah, rukun Islam berjumlah lima begitupun pancasila. Kedua, dari segi makna yaitu:
1.   Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini kerat aitannya denagn rukun Islam yang pertama yaitu syahadat. Secara umum, sila ini menerangkan tentang ketuhanan begitu pun syahadat yang mempunyai makna pengakuan terhadap tuhan yaitu Allah SWT. Selain itu, kata Esa sendiri berarti tunggal, yang sebagaimana yang kita ketahui bahwa Isalm sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini mempunyai tuhan tunggal Allah SWT. 
2.  Kemanusiaan yang adil dan beradab sila kedua pancasila, berkaitan dengan rukun  Islam kedua yaitu Shalat. Shalat dalam Islam selain sebagai ibadah wajib juga dilakukan untuk mendidik manusia menjadi manusia yang beradab. Sholat adalah sebuah media untuk mencegah perbuatan yang tidak terpuji, sebagai mana yang di firmankan oleh Allah bahwa Shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
3.  Persatuan Indonesia yang artinya seluruh elemen rakyat yang ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan adat bersatu dan membentuk kesatuan dalam wadah bangsa Indonesia. Kaitannya dengan itu, persatuan terbentuk ketika jurang pemisah sudah tidak ada lagi di masyarakat. salah satu jurang pemisah yang paling nyata yaitu jurang antara yang miskin dan yang kaya. Untuk menyatukan jurang pemisah tersebut maka di agama Islam diwajibkan membayar zakat bagi orang-orang kaya yang akan disalurkan untuk kepentingan kaum miskin dan duafa. Zakat yang notabennya adalah rukun Islam ketiga sangat erat kaitannya dengan poin pancasila ketiga tersebut. Dengan zakat akan terbentuk rasa kasih sayang pada umat yang akan menghasilkan persatuan yang di cita-citakan.
4.   Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sangat erat kaitannya dengan rukun islam keempat yaitu puasa. Dengan pusas akan terbentuk sifat bijaksana dan kepemimpinan. Ciri orang bijaksana, yaitu ia mampu merasakan dan mempumnyuai rasa kasih sayang sesame, semua itu adalah hikmah dari puasa. Selain itu, dalam menentukan waktu puasa, perlu dilakukan suatu musyawarah yang dikenal dengan siding istbat.
5.  Keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indionesia. Pada rukun Islam, terdapat yang namanya haji. Haji adalah proses sosial yang terbesar di dunia ini, dimana setiap orang datang dari berbagai negara dengan berbagai bahasa dan kebiasaan bergabung menjadi satu dalam satu tempat dan waktu dalam kedudukan yang sama. Di dalalam haji, tidak memandang itu siapa dan siapa, semuanya sama, pakaiannya sama dan peraturan dan hukumnya sama. Semua itu adalah cerminan dari keadilan tuhan.


Pancasila  dan  agama  dapat  diaplikasikan  seiring sejalan  dan  saling  mendukung.  Agama  dapat  mendorong aplikasi  nilai-nilai  Pancasila,  begitu  pula  Pancasila memberikan  ruang  gerak  yang  seluas-luasnya  terhadap usaha-usaha  peningkatan  pemahaman,  penghayatan  dan pengamalan  agama  (Eksan,  2000).  Abdurrahman  Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak  relevan lagi untuk  melihat  apakah  nilai-nilai  dasar  itu  ditarik  oleh Pancasila  dari  agama-agama  dan kepercayaan  terhadap Tuhan  Yang  Maha  Esa,  karena  ajaran  agama-agama  juga tetap  menjadi  referensi  umum  bagi  Pancasila,  dan  agamaagama  harus  memperhitungkan  eksistensi  Pancasila sebagai  “polisi  lalu  lintas”  yang  akan  menjamin  semua pihak  dapat  menggunakan  jalan  raya  kehidupan  bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan Alfian, 1990: 167-168).
Moral  Pancasila  bersifat  rasional,  objektif  dan universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Moral  Pancasila  juga  dapat  disebut  otonom  karena  nilainilainya  tidak  mendapat  pengaruh  dari  luar  hakikat manusia  Indonesia,  dan  dapat  dipertanggungjawabkan secara  filosofis.  Tidak  dapat  pula  diletakkan  adanya bantuan  dari  nilai-nilai  agama,  adat,  dan  budaya,  karena secara de  facto  nilai-nilai  Pancasila  berasal  dari agama agama  serta  budaya  manusia  Indonesia. Hanya  saja  nilainilai  yang  hidup  tersebut  tidak  menentukan  dasar-dasar Pancasila,  tetapi  memberikan  bantuan  dan  memperkuat (Anshoriy, 2008: 177).Sejalan  dengan  pendapat  tersebut,  Presiden  Susilo Bambang  Yudhoyono  (SBY)  menyatakan  dalam  Sambutan pada  Peringatan  Hari  Kesaktian  Pancasila  pada  1  Oktober 2005.

“Bangsa  kita  adalah  bangsa  yang  relijius;  juga, bangsa  yang  menjunjung  tinggi,  menghormati dan  mengamalkan  ajaran  agama  masing-masing. Karena  itu,  setiap  umat  beragama  hendaknya memahami  falsafah  Pancasila  itu  sejalan  dengan nilai-nilai  ajaran  agamanya  masing-masing. Dengan  demikian,  kita  akan  menempatkan falsafah  negara  di  posisinya  yang  wajar.  Saya berkeyakinan  dengan  sedalam-dalamnya  bahwa lima  sila  di  dalam  Pancasila  itu  selaras  dengan ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di  tanah  air.  Dengan  demikian,  kita  dapat menghindari  adanya  perasaan  kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran agama,  serta  untuk  menerima  Pancasila  sebagai falsafah  negara  (Yudhoyono  dalam  Wildan  (ed.), 2010: 172).

Dengan  penerimaan  Pancasila  oleh  hampir  seluruh kekuatan  bangsa,  sebenarnya  tidak  ada  alasan  lagi  untuk mempertentangkan  nilai-nilai  Pancasila  dengan  agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan Maarif,  sebuah  pergulatan  sengit  yang  telah  menguras energi  kita  sebagai  bangsa.  Sebagai  buah  dari  pergumulan panjang  itu,  sekarang  secara  teoretik  dari  kelima  nilai Pancasila  tidak  satu  pun  lagi  yang  dianggap  berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa”  dikunci oleh  sila  kelima.

Diharapkan  sebagai  bangsa  indonesia  yang  rakyatnya  memiliki  berbagai macam  suku  ,budaya  dan  agama,  harus  saling  menghormati,  manghargai  dan menyayangi antara satu suku dan suku lainnya dan antara satu agama dan agama lainnya. Agar timbul kedamaian dan kerukunan di negara ini. Jangan  Hanya  karena  merasa  berasal  dari  agama  mayoritas,  kita merendahkan  umat  yang  berbeda  agama  ataupun  membuat  aturan  yang  secara langsung dan tidak langsung memaksakan  aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas. Hendaknya  kita  tidak  menggunakan  standar  sebuah  agama  tertentu  untuk dijadikan  tolak  ukur  nilai  moralitas  bangsa  Indonesia
Untuk semakin  memperkuat rasa bangga terhadap Pancasila dan memahami tentang  kerukunan  beragama  maka  perlu  adanya  peningkatan  pengamalan  butir butir Pancasila khususnya sila ke-1. Untuk  menjadi  sebuah  negara  Pancasila  yang  nyaman  bagi  rakyatnya, diperlukan  adanya  jaminan  keamanan  dan  kesejahteraan  setiap  masyarakat  yang ada  di  dalamnya.  Khususnya  jaminan  keamanan  dalam  melaksanakan  kegiatan beribadah.





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagai  negara  yang  terdiri  dari  berbagai  macam  agama,  suku,  ras  dan bahasa  Pancasila  adalah  ideologi  yang  sangat  baik  untuk  diterapkan  di  negara Indonesia.  Sehingga  jika  ideologi  Pancasila  diganti  oleh  ideologi  yang  berlatar belakang agama, akan terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang dijadikan ideologi negara tersebut. Dengan  tetap  menjunjung  tinggi  ideologi  Pancasila  sebagai  dasar  negara, maka  perwujudan  untuk  menuju  negara  yang  aman  dan  sejahtera  pasti  akan tercapai.

3.2 Saran
Untuk  mengembangkan  nilai-nilai  Pancasila  dan  memadukannya  dengan agama,  harus  memiliki  rasa  nasionalisme  yang  tinggi.  Selain  itu,  kita  juga  harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya,  serta selalu rukun antar umat beragam dengan cara saling menghormati dan menghargai.















DAFTAR PUSTAKA

Nopirin.  1980.  Beberapa  Hal  Mengenai  Falsafah  Pancasila,  Cet.  9.  Jakarta: Pancoran Tujuh
Notonagoro.  1980.  Beberapa  Hal  Mengenai  Falsafah  Pancasila  dengan  Kelangsungan Agama, Cet. 8. Jakarta: Pantjoran Tujuh
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Agama. Jakarta: PT. Gramedia


Pengertian Otonomi Daerah

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudah kan pengaturan atau penataan pemerintahan, maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat. Di era reformasi ini, sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, namun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut sangat dibutuhkan karena mulai munculnya ancaman-ancaman terhadap keutuhan NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.           
          Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang menegakan pengolahan sumber daya alam yang merupakan sumner pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional. Seperti yang kita ketahui, bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain. Karena itulah pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat daerah yang disebut Otonomi Daerah.
Pada kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan begitu saja pada pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundang-undangan, pemerintah pusat juga harus mengawasi keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah. Apakan sudah sesuai dengan tujuan nasional, yaitu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah republik Indonesia berdasarkan pada sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

B. Rumusan Masalah
3.      Hakikat Otonomi Daerah ?




BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri  Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1) F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2) Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3) Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.

Pendapat lain dikemukakan oleh
1).  Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.
2). Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
 3). Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.

Kebebasanyang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.            
                  Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota, perangkat daerah seperti Lurah,Camat serta Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi. DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para wakil rakyat yang menjadi penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
-    Otonomi daerah adalah wewenang,hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-    Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayah dan wewenang dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri namum sesuai dengan sistem  NKRI.
-    Di dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.2. Sejarah Perkembangan Pelaksanaan Otonomi Daerah
       2.2.1. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis.
Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1.   Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2.  Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
3.  Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),dan kewajiban seperti :
a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945;
b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
1.     melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
2.     pembentukan negara federal; atau
3.     membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.

Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2.  Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
3.    Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.    Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.     Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah provinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6.  Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.  Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut provinsi.
8.   Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9.     Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

2.3.  Hakikat Otonomi Daerah

Menurut UU No. 32 tahun 2004 (sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999) tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan "Otonomi Daerah" adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
            Pada hakikatnya otonomi daerah memberikan ruang gerak secukupnya bagi pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri agar lebih berdaya mampu bersaing dalam kerjasama, dan profesional terutama dalam menjalankan pemerintah daerah dan mengelola sumber daya serta potensi yang dimiliki daerah tersebut.

2.4.  Tujuan Otonomi Daerah

Adapun tujuan dari otonomi daerah menurut undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa tujuan otonomi daerah ialah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang memang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Berikut penjelasannya:
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan ada peningkatan pelayanan umum secara maksimal dari lembaga pemerintah di masing-masing daerah. Dengan pelayanan yang maksimal tersebut diharapkan masyarakat dapat merasakan secara langsung manfaat dari otonomi daerah.
Setelah pelayanan yang maksimal dan memadai, diharapkan kesejahteraan masyarakat pada suatu daerah otonom bisa lebih baik dan meningkat. Tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut menunjukkan bagaimana daerah otonom bisa menggunakan hak dan wewenangnya secara tepat, bijak dan sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan menerapkan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan daya saing daerah dan harus memperhatikan bentuk keanekaragaman suatu daerah serta kekhususan atau keistimewaan daerah tertentu serta tetap mengacu pada semboyan negara kita "Bineka Tunggal Ika" walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua.

2.5. Manfaat Otonomi Daerah
·        Pelaksanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan Masyarakat di Daerah yang bersifat heterogen.
·        Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur daripemerintah pusat.
·        Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik.
·        Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya "penetrasi" yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi Daerah-Daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
·        Representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan didalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
·        Peluang bagi pemerintahan serta lembaga privat dan masyarakat di Daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
·         Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di Pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di Pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat Daerah.
·         Dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat Daerah dan sejumlah di berbagai Daerah. Propinsi, Kabupaten, dan Kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah.
·       Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program.
·       Dapat meningkatkan pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan olehelite lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
·       Administrasi pemerintahan menjadi mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh Daerah yang lainnya.
·        Memungkinkan pemimpin di Daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secaraefektif, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik daripada yang dilakukan oleh pejabat di Pusat.
·        Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di Daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara system politik.
·       Meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada Daerah.

  • UUD 1945, Pasal 18, 18A, dan 18B
  • Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangaka NKRI
  • Tap MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
  • UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
  • UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah 


 I. Pasal 18
1)      Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2)     Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3)    Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4)   Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis
5)      Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
6)   Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7)      Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

·  Pasal 18 A
1)   Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten,dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
2)      Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

1)              Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
2)             Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.


2.7.  Landasan Teori Otonomi Daerah
            Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah .
a.       Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah yang saya tuliskan di sini.Asas-asas tersebut sebagai berikut:
·         Asas tertib penyelenggara negara
·         Asas Kepentingan umum
·         Asas Kepastian Hukum
·         Asas keterbukaan
·         Asas Profesionalitas
·         Asas efisiensi
·         Asas proporsionalitas
·         Asas efektifitas
·         Asas akuntabilitas

b.      Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan di Indonesia.                            
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

c.       Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.

                                                                                   
2.8 Penyelenggaraan Pemerintahan dalam Otonomi Daerah
1) Penyelenggara pemerintahan pusat yaitu presiden dibantu oleh seorang  wakil presiden dan para menteri
       2) Penyelenggara pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD

DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
1) Kedudukan DPRD
     DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan   berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
2) Fungsi DPRD, yaitu
a. Fungsi Legislasi, yaitu membentuk peraturan daerah bersama pemerintah daerah
b. Fungsi Anggaran, yaitu menyusun dan menetapkan APBD bersama pemerintah daerah
c. Fungsi Pengawasan, yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah
a. Membentuk perda yang dibahas dengan kepala pemerintah daerah/pemerintah daerah untuk mendapat persetuajuan bersama
b. Membahas dan menyetujui rancangan perda tentang APBD bersama pemerintah daerah
c. Mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan perdadan peraturan perundang-undangan lainnya
d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi, dan kepada Menteri Dalam Negeri memalui guernur bagi DPRD kabupaten/kota
e. Memilih wakil kepala daerah jika terjadi kekosongan jabatan kepala daerah
f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemda terhadap perjanjian internasional di daerah
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasionala yang dilakukan oleh pemda
h. Meminta laporan keterangan pertanggung jawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemda
i.  Membentuk panitia pemilihan kepada daerah
j.  Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
k. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah
l.  Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

4) Hak DPRD, yaitu
a) Hak Interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai suatu kebijakan yang dikeluarkan
b) Hak Angket, yaitu hak untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan tertentu yang dikeluarkan kepala daerah
c) Hak Menyatakan Pendapat, yaitu hak untuk meyatakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daearah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya, atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

5) Alat Kelengkapan DPRD
a) pimpinan
b) komisi
c) panitian musayawarah
d) panitia anggaran
e) badan kehormatan
f) alat kelengkapan l;ain yang diperlukan (misalnya panitia legislasi)
·        
KEPALA DAERAH
            Dilihat dari susunannya, pada pemerintahan daerah terdapat dua lembaga yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah provinsi dipimpin oleh Gubernur, sedangkan pemerintah daerah kabupaten/kota dipimpin oleh bupatiwalikota. Gubernur/Bupati/Walikota yang biasa disebut kepala daerah memiliki kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan DPRD masing-masing daerah. Kepala daerah dan DPRD memiliki tugas/wewenang dan mekanisme pemilihan yang berbeda.
a.  memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang    ditetapkan bersama DPRD;
b.    mengajukan rancangan Perda;
c.    menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan  bersama  DPRD;
d.  menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e.    mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f.   mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g.    melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
       Salah satu perubahan yang mendasar setelah tumbangnya orde baru yaitu mekanisme pemilihan kepala daerah. Semula kepala daerah diajukan oleh DPRD dan ditetapkan dan sangat tergantung kehendak pemerintah pusast (Presiden). Setelah reformasi pemilihan kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dilakukan secara demokratis dan transparan. Mekanisme pemilihan kepala daerah dikenal dengan istilah PILKADA langsung.
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh Wakil Kepala Daerah.  Kepala Daerah Propinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai Wakil Pemerintah. Sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggungjawab kepada DPRD, sebagai wakil Pemerintah Gubernur berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, sedangkan Daerah Kota disebut Walikota yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten/Kota. Dalam mengisi jabatan Kepala Daerah dan Wakilnya dilakukan secara serentak atau bersamaan (dalam satu paket) oleh DPRD untuk memangku jabatan selama 5 tahun.
Sebagai alat pemerintah pusat Gubernur melaksanakan tugas-tugas antara lain (soejito, 1978 : 224 ) :
a.    Membina ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya
b.   Menyelenggarakan koordinasi kegiatan lintas sektor mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan dan pengawasan kegiatan dimaksud
c.    Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah
d.   Melaksanakan usaha-usaha pembinaan kesatuan bangsa sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah
e.  Melaksanakan segala tugas pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepadanya
f.     Melaksanakan tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalam tugas instansi lainnya.

2.9  Dampak Otonomi Daerah
A.Dampak Positif
            Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas local yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.

B.Dampak Negatif
        Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugika Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
1) Korupsi Pengadaan Barang Modus :
    a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
    b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2) Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
     Modus :a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
      b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3) Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji,  keniakan pangkat,  pengurusan pensiun  dan sebagainya.
    Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4) Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
     Modus : a. Pemotongan dana bantuan sosial 
       b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5) Bantuan fiktif
     Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.


Hubungan Pancasila dan Agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Pancasila merupakan dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Panca...